Latest Post

Pelaku saat di bekuk Polisi
Saat pelaku di bekuk Polisi


Teman kerja Ramlan Butarbutar mengaku terkejut mengetahui, bahwa Butarbutar terlibat kasus perampokan di Pulomas, Pulogadung, Jakarta Timur pada Senin (26/12/2016) petang.


Soalnya, Butarbutar tidak menunjukkan sikap yang mencurigakan.


Apalagi Butarbutar tetap bekerja sebagai sopir angkutan perkotaan (angkot) K-11 jurusan Bantargebang-Terminal Bekasi, saat hari Senin (26/12/2016) pagi atau sebelum melakukan aksi jahat dan sadisnya.


Bahkan, Selasa (27/12/2016) atau sehari pasca perampokan di rumah Ir Dodi Triono, Butarbutar tetap menarik angkot untuk mencari penumpang.


"Cuma, tadi saja dia tidak narik penumpang karena alasannya habis begadang semalam," kata Jaspen Purba (41) rekan kerja Butarbutar saat ditemui di Gang Kalong RT 08/02, Bojong Rawalumbu, Kota Bekasi, Rabu (28/12/2016) malam.


Jaspen mengatakan sebelum ditangkap polisi, dia sempat mendatangi rumah kontrakan Butarbutar pada Rabu (28/12/2016) pagi.


Kedatangan Jaspen ke sana hendak mengambil kunci mobil angkot.


"Saat saya datang ke sana, sudah ada dua teman Butarbutar. Tapi, saya tidak mengenalinya dan langsung keluar untuk narik penumpang," ungkapnya.


Selama ini, kata dia, Butarbutar bekerja sebagai sopir angkot pengganti.


Butarbutar biasa menarik penumpang dari pukul 05.00 hingga 10.00, sedangkan Yaspen dari pukul 10.00 hingga sore.


"Dia sopir pengganti saya sejak beberapa bulan ini," ungkapnya.


Jaspen menambahkan, tahu rekannya ditangkap polisi dari informasi para sopir di Terminal Bekasi.


Karena, penasaran, Jaspen bergegas ke rumah Butarbutar untuk mengecek kebenaran informasi itu.


"Pas saya ke sini rupanya benar,dia ditangkap polisi. Selama ini orangnya baik dan tidak ada masalah soal setorannya," katanya.


Sumber :wartakota.tribunnews
Demikian Seolah Tak Terjadi Apa-apa, Ramlan Butarbutar Tetap Narik Angkot, Usai Merampok dan Membunuh.  Selamat Belajar & Happy Blogging! (www.halalpenting.blogspot.com)

Menghayal Waktu Sholat
gambaran shalat

Kekhusyukan dalam shalat merupakan salah satu syarat untuk di terima oleh Allah Swt, Namun sangat sulit untuk mencapai kekhusyukan itu sendiri, termasuk penulis. berikut Hp akan menguraikan pendapat ulamak tentang Shalat sambil berkhayal yang menyebabkan shalat tidak khusyuk

Shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram dianggap sebagai pintu masuk untuk mengingat Allah SWT. Segala bentuk kegiatan yang diperbolehkan di luar shalat, seketika takbir semuanya mesti ditinggalkan, alias diharamkan.


Setelah berniat dan melakukan takbir, seharusnya pikiran dan hati kita fokus untuk beribadah dan tertuju pada Allah SWT. Namun masalahnya, mengendalikan pikiran bukanlah perkara mudah.


Seringkali pikiran lain muncul tiba-tiba di benak kita seperti soal pekerjaan, anak, harta, dan dagangan. Bahkan dalam shalat pun, terkadang khayalan aneh datang menghantui pikiran. Sehingga, semua itu membuat kekhusyukan ibadah menjadi terganggu dan berkurang. Lalu bagaimana hukumnya? Apakah masih sah shalat orang yang mengkhayal ketika shalat?


Terkait masalah ini, Imam An-Nawawi punya jawaban di dalam kitabnya Fatawa Al-Imam An-Nawawi:


إذا فكر في صلاته في المعاصي والمظالم ولم يحضر قلبه فيها ولا تدبر قراءتها هل تبطل صلاته أم لا؟ أجاب رضي الله عنه: تصح صلاته وتكره..


Artinya, “Bila seorang mengkhayal maksiat dan kezalimaan pada saat shalat sehingga hatinya tidak fokus dan dia tidak meresapi bacaannya, apakah shalatnya masih sah? ‘Shalatnya sah, namun makruh,’” jawab Imam An-Nawawi.”


Orang yang mengkayal, pikirannya melayang ke mana-mana, bahkan memikirkan sesuatu yang buruk, shalatnya masih dihukumi sah. Meskipun sah, shalatnya dianggap makruh karena hatinya tidak hadir dan dia tidak meresapi bacaan yang dilafalkannya.


Kekhusyukan memang tidak menjadi kewajiban di dalam shalat, namun bukan berarti kita mengabaikannya. Kita mesti mengupayakan dan mengusahkannya. Minimal kita berusaha merenungi dan meresapi setiap bacaan yang dilafalkan ketika shalat. Di sini kita mengerti betapa kekhusyukan adalah barang mahal tiada tara. Wallahu a’lam

Sumber : Nu Online

Demikian Menghayal Waktu Sholat, Usai Merampok dan Membunuh.  Selamat Belajar & Happy Blogging! (www.halalpenting.blogspot.com)

Apakah Orang tua Rasulullah Tergolong Ahli Neraka??

 Ada salah satu tokoh agama (maaf tidak di sebutkan namanya) yang sudah bergelar Profesor mengatakan melalui media televisi Bahwa Orang tua Rasulullah tergolong penghuni neraka, karna perkataannya ini akhirnya menuai keritikan dari berbagai elemen masyarakat muslim.
  Berikut Hp akan menjelaskan pendapat ulamak tentang hal ini
  Di dalam kitab Jamiusshohih Muslim Rasulullah bersabda riwayat  Sahabat Anas bin Malik yang berbunyi sebagai berikut :
أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

Artinya, "Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad SAW memanggilnya lalu berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka,’” (HR Muslim).
sedangkan sabda Rasulullah riwayat Abu Hurairah berbunyi sebagai berikut :
زَارَ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمّهِ. فَبَكَىَ وَأَبْكَىَ مَنْ حَوْلَهُ. فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِي

Artinya, "Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya. Di sana Beliau SAW menangis sehingga para sahabat di sekitarnya turut menangis. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Kepada Allah Aku sudah meminta izin untuk memintakan ampun bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkanku. Lalu Aku meminta kepada-Nya agar Aku diizinkan menziarahi makam ibuku, alhamdulillah Dia mengizinkanku," (HR Muslim).

Secara harfiah pemahaman yang kita dapati dari keterangan dua hadits di atas menujukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk ke dalam penghuni neraka. Tetapi sebenarnya ulama baik dari kalangan ahli hadits maupun kalangan ahli kalam berbeda pendapat perihal ini. Di antara ulama yang memaknai hadits ini secara harfiah adalah Imam An-Nawawi. Dalam kitab Syarah Muslim yang ditulisnya menunjukkan secara jelas posisinya seperti keterangan berikut ini.

قوله ( أن رجلا قال يا رسول الله أين أبي قال في النار فلما قفى دعاه فقال إن أبي وأباك في النار ) فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة ومعنى قوله صلى الله عليه و سلم قفي ولى قفاه منصرفا 

Artinya, “Pengertian hadits ‘Seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ dan seterusnya, menunjukkan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan kufur bertempat di neraka. Kedekatan kerabat muslim tidak akan memberikan manfaat bagi mereka yang mati dalam keadaan kafir. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mereka yang meninggal dunia di masa fatrah (masa kosong kehadiran rasul) dalam keadaan musyrik yakni menyembah berhala sebagaimana kondisi masyarakat Arab ketika itu, tergolong ahli neraka. Kondisi fatrah ini bukan berarti dakwah belum sampai kepada mereka. Karena sungguh dakwah Nabi Ibrahim AS, dan para nabi lainnya telah sampai kepada mereka. Sedangkan ungkapan ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka’ merupakan ungkapan solidaritas dan empati Rasulullah SAW yang sama-sama terkena musibah seperti yang dialami sahabatnya perihal nasib orang tua keduanya. Ungkapan Rasulullah SAW ‘Ketika orang itu berpaling untuk pergi’ bermakna beranjak meninggalkan Rasulullah SAW.” (lihat Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, Dar Ihyait Turats Al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1392 H). 

Sementara ulama lain menilai hadits ini telah dimansukh (direvisi) oleh riwayat Sayidatina Aisyah RA. Dengan demikian kedua orang tua Rasulullah SAW terbebas sebagai penghuni neraka seperti keterangan hadits yang telah dimansukh. Salah satu ulama yang mengambil posisi ini adalah Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam karyanya Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب قالا حدثنا محمد بن عبيد عن يزيد بن كيسان عن أبي حازم عن أبي هريرة قال زار النبي صلى الله عليه و سلم قبر أمه الحديث قال النووي هذا الحديث وجد في رواية أبي العلاء بن ماهان لأهل المغرب ولم يوجد في روايات بلادنا من جهة عبد الغافر الفارسي ولكنه يوجد في أكثر الأصول في آخر كتاب الجنائز ويضبب عليه وربما كتب في الحاشية ورواه أبو داود والنسائي وابن ماجة قلت قد ذكر بن شاهين في كتاب الناسخ والمنسوخ أن هذا الحديث ونحوه منسوخ بحديث إحيائها حتى آمنت به وردها الله وذلك في حجة الوداع ولي في المسألة سبع مؤلفات

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya dan seterusnya. Menurut Imam An-Nawawi, ‘Hadits ini terdapat pada riwayat Abul Ala bin Mahan penduduk Maghrib, tetapi tidak terdapat pada riwayat orang-orang desa kami dari riwayat Abdul Ghafir Al-Farisi. Namun demikian hadits ini terdapat di kebanyakan ushul pada akhir Bab Jenazah dan disimpan. Tetapi terkadang ditulis di dalam catatan tambahan. Hadits ini diiwayatkan Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.’ Hemat saya jelas, Ibnu Syahin menyebutkan di dalam kitab Nasikh dan Mansukh bahwa hadits ini dan hadits yang semakna dengannya telah dimansukh oleh hadits yang menerangkan bahwa Allah menghidupkan kembali ibu Rasulullah sehingga ia beriman kepada anaknya, lalu Allah mewafatkannya kembali. Ini terjadi pada Haji Wada’. Perihal masalah ini saya telah menulis tujuh kitab,” (Lihat Abdurrahman bin Abu Bakar, Abul Fadhl, Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj).

Kalangan ahli kalam juga membicarakan perihal ahli fatrah. Menurut kalangan Muktazilah dan sebagian ulama Maturidiyah, orang-orang ahli fatrah yang wafat dalam keadaan musyrik termasuk penghuni neraka. Karena bagi mereka, manusia tanpa diutus seorang rasul sekalipun semestinya memilih tauhid melalui daya akal yang dianugerahkan Allah kepadanya.

Sementara kalangan Asy-ari menempatkan ahli fatrah sebagai kalangan yang terbebas dari tuntutan tauhid karena tidak ada rasul yang membimbing mereka. Berikut ini perbedaan pendapat yang bisa kami himpun.

واختلف هل يكتفي بدعوة أي رسول كان ولو آدم أو لا بد من دعوة الرسول الذي أرسل إلى هذا الشخص. والصحيح الثاني. وعليه فأهل الفترة ناجون وإن غيروا و بدلوا وعبدوا الأوثان. وإذا علمت أن أهل الفترة ناجون علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان لكونهما من أهل الفترة بل هما من أهل الإسلام لما روي أن الله تعالى أحياهما بعد بعثة النبي صلى الله عليه وسلم فآمنا به... ولعل هذا الحديث صح عند بعض أهل الحقيقة... وقد ألف الجلال السيوطي مؤلفات فيما يتعلق بنجاتهما فجزاه الله خيرا.

Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal ahli fatrah. Apakah kehadiran rasul yang mana saja sekalipun Nabi Adam AS yang jauh sekali dianggap cukup bahwa dakwah telah sampai (bagi masyarakat musyrik Mekkah) atau mengharuskan rasul secara khusus yang berdakwah kepada kaum tertentu? Menurut kami, yang shahih adalah pendapat kedua. Atas dasar itu, ahli fatrah selamat dari siksa neraka meskipun mereka mengubah dan mengganti keyakinan mereka, lalu menyembah berhala. Kalau ahli fatrah itu terbebas dari siksa neraka, tentu kita yakin bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari neraka karena keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan keduanya termasuk pemeluk Islam berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah menghidupkan keduanya setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul sehingga keduanya berkesempatan mengucapkan dua kalimat syahadat. Riwayat hadits ini shahih menurut sebagian ahli hakikat. Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menulis sejumlah kitab terkait keselamatan kedua orang tua Rasulullah SAW di akhirat. Semoga Allah membalas kebaikan Syekh Jalaluddin atas karyanya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri ala Matnis Sanusiyyah, Dar Ihya’il Kutub Al-Arabiyyah, Indonesia, Halaman 14).

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nuruz Zhalam Syarah Aqidatil Awam menegaskan sebagai berikut.

قال الباجوري فالحق الذي نلقى الله عليه أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان على أنه قيل أنه تعالى أحياهما حتي آمنا به ثم أماتهما لحديث ورد في ذلك وهو ما روي عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سأل ربه أن يحيي له أبويه فأحياهما فآمنا به ثم أماتهما. قال السهيلي والله قادر على كل شيء له أن يخص نبيه بما شاء من فضله وينعم عليه بما شاء من كرامته.

Artinya, “Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari siksa neraka berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah SAW sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. Sebuah riwayat hadits dari Urwah dari Sayidatina Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah SAW memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan kedua orang tuanya sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. As-Suhaili berkata bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengistimewakan karunia-Nya dan melimpahkan nikmat-Nya kepada kekasih-Nya Rasulullah SAW sesuai kehendak-Nya,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syarah Nuruzh Zhalam ala Aqidatil Awam, Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, Halaman 27).

Dari dua pandangan ulama di atas, Penulis lebih cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk kalangan muslim dan golongan orang-orang yang beriman. Karena sah menurut akal (ja’iz aqli) bahwa Allah SWT mengabulkan permintaan Rasulullah SAW memandang pangkat kekasih-Nya yang begitu agung dan mulia itu di sisi-Nya dan begitu luasnya kemurahan Allah itu sendiri.Wallahu a’lam bis shawab.

Makan Di Masjid

 Masjid bukan saja sebagai sarana ibadah tetapi masjid juga sebagai sarana Silaturrahmi antara ummat muslim, banyak kegiatan keagamaan yang di laksanakan di masjid itu sendiri misalkan Acara Rapat Pengurus, Acara Maulid Nabi, Dll biasanya dalam acara tersebut di sediakan suguhan walaupun ala kadarnya baik berupa makanan, minuman atau buah-buahan, nah bagaimana hukumnya makan dan minum di dalam masjid?
  Berikut Hp Akan memberikan sedikit penjelasan
 Imam An-Nawawi juga pernah ditanya soal ini. Ada yang menanyakan kepadanya bagaimana hukumnya makan roti, buah-buahan, atau makanan lainnya di masjid? Dalam karyanya Fatawa Al-Imam An-Nawawi, ia menjelaskan sebagai berikut.

هو جائز، ولا يمنع منه ، لكن ينبغي له أن يبسط شيئا، ويصون المسجد، ويحترز من سقوط الفتات والفاكهة وغيرها في المسجد. وهذا الذي ذكرناه فيما ليس له رائحة كريهة: كالثوم، والبصل، والكراث، والبطيخ الذي ليس فيه شيء من رائحة ذلك ونحوه، فإن كان فيه شيء من ذلك فيكره أكله في المسجد، ويمنع آكله من المسجد حتى يذهب ريحه

Artinya, “Boleh dan tidak dilarang, namun diharuskan untuk membentangkan sesuatu (untuk alas tempat makan), menjaga (kebersihan) masjid, dan menjaga (membersihkan) sisa makanan yang jatuh ke lantai masjid. Kebolehan ini berlaku untuk makanan yang tidak berbau, semisal bawang putih, bawang merah, dan bawang bakung, dan buah semangka yang tidak berbau. Adapun makanan yang berbau tidak sedap dan enak, dimakruhkan memakannya di dalam masjid. Orang yang memakan hidangan berbau tidak sedap dilarang masuk masjid sampai baunya hilang.”

Pada dasarnya dibolehkan makan dan minum di masjid selama dipastikan mampu menjaga kebersihannya. Karena bagaimanapun masjid merupakan tempat ibadah. Jangan sampai aktivitas yang kita lakukan merusak dan menganggu ibadah orang lain. Maka dari itu, makanan yang berbau tidak sedap dan menusuk hidung, semisal durian, jengkol, dan lain-lain, lebih baik tidak dimakan di masjid. Sebab bisa membuat orang lain tidak kosentarasi shalat dan meninggalkan bau tidak enak di masjid.
Walloohu A' lam

     
Bulan yang baik Untuk Menikah sesuai Syariat
akad nikah
        Menikah merupakan Perkara yang di sunnahkan oleh Nabi Muhammad SAW, Dengan catatan sudah sanggup melaksankan syarat-syarat Nikah sesuai syariat Islam. dalam melangsungkan pernikahan biasanya mencari hari atau bulan atau tahun yang baik dengan maksud agar pernikahannya langgeng,berkah,sakinah,mawaddah, wa rohmah, terkadang ada yang mencari hari baik untuk pernikahan dengan primbon padahal itu merupakan ilmu nujum yang tidak di perbolehkan.
Berikut Hp akan sedikit menjelaskan tentang bulan yang baik untuk melangsungkan pernikahan sesuai syariat Islam, ada baiknya kita merujuk pada hadist Nabi Muhammad Saw
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي.... متفق عليه.

Artinya, “Dari Aisyah RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW menikahi aku pada bulan Syawwal dan menggauliku (pertama kali juga, pent) pada bulan Syawwal. Lalu manakah istri-istri beliau SAW yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?’” (Muttafaq ‘Alaih).

Menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, hadits ini mengandung anjuran untuk menikahkan, menikah, atau berhubungan suami-istri pada bulan Syawwal. Dengan hadits ini pula para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i menegaskan pandangan atas kesunahan hal tersebut.

Lebih lanjut, Muhyiddin Syaraf An-Nawawi menyatakan bahwa perkataan Sayyidah Aisyah RA di atas ditujukan untuk menyangkal kemakruhan menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri di bulan Syawwal, yang telah menjadi praktik pada masa jahiliyah dan menguasai pikiran sebagian orang awam pada saat itu.

فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ، وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ، وَاسْتَدَّلُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رُدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِ اليَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجاَهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْاِشَالَةِ وَالرَّفْعِ

Artinya, “Hadits ini mengandung anjuran untuk menenikahkan, menikah, atau dukhul pada bulan Syawwal sebagaimana pendapat yang ditegaskan oleh para ulama dari kalangan kami (madzhab Syafi’i). Mereka berargumen dengan hadits ini, Siti Aisyah RA dengan perkataan ini, bermaksud menyangkal apa telah dipraktikkan pada masa jahiliyah dan apa menguasai alam pikiran sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan Syawwal. Padahal ini merupakan kebatilan yang tidak memiliki dasar dan pengaruh pandangan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawwal yang diambil dari 'isyalah' dan 'raf̕’' (mengangkat),” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Beirut-Daru Ihya`it Turats Al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz IX, halaman 209).

Berpijak dari penjelasan singkat ini, kita dapat memahami di samping puasa enam hari di bulan Syawwal, ada juga dianjurkan lain pada bulan Syawwal yaitu menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri.

Pendek kata, Syawwal menurut para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk menikah. Namun dalam konteks ini mesti dipahami apabila memungkinkan menikah pada bulan itu. Begitu juga pada bulan yang lain adalah sama, sehingga jika ada alasan untuk menikah pada bulan di luar bulan Syawwal, laksanakanlah pernikahan tersebut.

Bulan lain yang juga dianjurkan untuk menikah adalah bulan Shafar dengan dasar riwayat Az-Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menikahkan putrinya Sayyidah Aisyah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA pada bulan tersebut.

وَقَوْلُهُ وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ أَيْ حَيْثُ كَانَ يُمْكِنُهُ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ عَلَى السَّوَاءِ فَإِنْ وُجِدَ سَبَبٌ لِلنِّكَاحِ فِي غَيْرِهِ فَعَلَهُ وَصَحَّ التَّرْغِيبُ فِي الصَّفَرِ أَيْضًا رَوَى الزُّهْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَ ابْنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ عَلَى رَأْسِ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْ - الْهِجْرَةِ ا هـ

Artinya, “Pernyataan, ‘Dianjurkan untuk menikah pada bulan Syawwal’, maksudnya adalah sekiranya memungkinkan untuk dilaksanakan pada bulan tersebut, sedangkan pada bulan yang lain juga sama. Apabila ditemukan sebab untuk menikah di bulan selain Syawwal, laksanakanlah. Begitu juga anjuran untuk menikah pada bulan Shafar adalah sahih, dan dalam hal ini Az-Zuhri meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw menikahkan putrinya yaitu Sayyidah Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib RA pada bulan Shafar pada penghujung bulan ke dua belas dari hijrah,” (Lihat Abdul Hamid Asy-Syirwani, Hasyiyatus Syirwani, Mesir-Maktbah Mushtafa Muhammad, tanpa tahun, juz VII, halaman 189-190).
Jadi kesimpulannya Bulan yang baik dalam melangsungkan pernikahan adalah bulan Syawwal dan Bulan Shafar namun menikah di bulan lainnya tidak di larang

Cara Pengajuan Naik Level Ilmu Haikal Di Isbat

Bagi yang sudah mengikuti ilmu haikal akan di berikan amalan level selanjutnya, hal ini bertujuan untuk bertahannya ilmu haikal sendiri dan isbat,namun untuk bisa naik ke level selanjutnya ada beberapa syarat yang harus di sanggupi syarat-syarat itu adalah :
1. Sudah mengamalkan dan mampu mengusai level-level sebelumnya
2. Bergabung di Room Isbat setiap hari agar silaturrohmi tetap terjalin
3. Mampu Menjawab pertanyaan di saat interview Online
4. Mengirimkan Pengajuan naik level
nah untuk mengirimkan pengajuan, Silahkan isi Formulir di bawah dengan lengkap


Powered byEMF Online HTML Form

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget