ilustrasi |
Mungkin hal ini tidak asing lagi bagi kita bahwa pada waktu sholat kita sering melihat perbedaaan dalam kaifiyahnya, salah satunya adalah di saat bangun dari sujud.
Di saat bangun dari sujud ada sebagian orang yang mengepalkan tangannya, dan ada yang membeberkan tangannya,nah kira-kira mana yang benar?berikut hp akan memberikan sedikit penjelasannya.
pertama hp akan mengambil dari Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, juz I, halaman 182). di sana di jelaskan kurang lebihnya seperti ini
يُسَنُّ ( أَنْ يَعْتَمِدَ فِي قِيَامِهِ مِنْ السُّجُودِ وَالْقُعُودِ عَلَى يَدَيْهِ ) ؛ لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِالتَّوَاضُعِ ، وَأَعْوَنُ لِلْمُصَلِّي ، وَلِثُبُوتِهِ فِي الصَّحِيحِ عَنْ فِعْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya, “Sunah untuk bertopang kepada kedua tangannya ketika bangun dari sujud dan duduk karena hal tersebut lebih tampak sebagai simbol ketawadlu’an, lebih bisa membantu orang yang shalat, dan karena telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana ditetapkan dalam hadits sahih.
Jika bertumpu di atas kedua tangan adalah praktik yang dilakukan Rasulullah SAW, pertanyaannya bagaimana caranya? Menurut Muhammad Khathib asy-Syarbini, baik orang kuat maupun yang lemah caranya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari-jari di atas tanah.
وَكَيْفِيَّةُ الِاعْتِمَادِ أَنْ يَجْعَلَ بَطْنَ رَاحَتَيْهِ ، وَبُطُونَ أَصَابِعِهِ عَلَى الْأَرْضِ وَسَوَاءٌ فِيهِ الْقَوِيُّ وَالضَّعِيفُ
Artinya, “Sedang cara bertumpunya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari-jarinya di atas tanah baik orang yang kuat maupun yang lemah,” (Lihat M Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, juz I, halaman 182).
Sedangkan kalangan yang berpendapat bahwa orang yang shalat ketika bangkit dari sujud dengan cara mengepalkan tangannya didasarkan salah satu hadits berikut ini:
إذَا قَامَ مِنْ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ
Artinya, “Ketika Rasulullah SAW bangkit dalam shalatnya Beliau meletakkan tangannya di atas tanah sebagaimana tukang adonan roti meletakan tangannya (al-‘ajin).”
Tetapi persoalannya menurut para ulama, hadits ini bukan masuk kategori hadits sahih sehingga tidak bisa dijadikan dasar. Meskipun hadits ini jika dianggap sahih, makna kata al-‘ajin bukan dalam pengertian tukang roti yang membuat adonan roti, tetapi maknanya adalah orang yang tua renta (asy-syaikh al-kabir).
Sehingga makna hadits tersebut adalah Rasulullah SAW ketika berdiri dalam shalat dengan bertumpu dengan kedua telapak tanggannya sebagaimana bertumpunya orang yang tua renta. Bukan diartikan mengepalkan kedua tangannya sebagaimana tukang pembuat adonan roti.
Sebab, praktik yang dilakukan Rasulullah SAW itu sendiri ketika bangkit dari sujud tidak mengepalkan tanggannya, tetapi dengan menjadikan kedua telapak tanggan dan telapak jari-jarinya di atas tanah, sebagaimana yang dijelaskan di atas mengetahui tata-caranya.
وَأَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي فِي الْوَسِيطِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا قَامَ مِنْ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ وَإِنْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى ذَلِكَ وَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْعَاجِنِ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ لَا عَاجِنَ الْعَجِينِ
Artinya, “Adapun hadits yang terdapat dalam kitab al-Wasith dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw ketika berdiri dalam shalat meletakkan tangannya di atas tanah sebagaimana tukang pembuat adonan roti, bukan termasuk hadits sahih. Dan jika hadits ini sahih maka mesti ditafsirkan dengan penafsiran di atas (menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari di atas tanah), dan yang dimaksud dengan al-‘ajin adalah orang yang tua renta bukan tukang pembuat adonan roti (‘ajin al-‘ajn),” (Lihat M Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, juz I, halaman 182).
Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami jangan sampai perbedaan dalam masalah ini menimbulkan konflik dan saling menyalahkan satu sama lain. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Post a Comment
Silahkan Berkomentar dengan Bijak, tanpa nypam