Articles by "Shalat"

Pro penista agama apakah tidak boleh di sholatkan saat meninggal?


Di saat ada seseorang yang meninggal dunia, maka muslimin mempunyai kewajiban untuk memandikan, mengkafani, mensholatkan, dan menguburnya, dan ini hukumnya Fardhu Kifayah.

Dalam masalah pro penista agama ada yang namanya kemunafikan, sedangkan kemunafikan ini kembali pada hati masing-masing, dan tanda-tanda munafiq itu sendiri sudah di jelaskan dalam Hadist nabi Muhammad Saw.

Dan dalam masalah pro penista agama juga ada kemurtadan / Keluar dari Iman. Sedangkan pro penista agama, Alqur’an, Rosulullah, agar jelas murtad atau tidak maka dia perlu di tanyakan kembali, apabila dia mengatakan dan meyaqini bahwa : ” menistakan agama, Alqur,an,Rosulullah, tidak apa-apa” maka orang tersebut tidak perlu di Sholati, karna sudah masuk ke zona Murtad, tapi ingat sobat ,,, tidak mudah untuk mengklaim seseorang itu murtad, karna harus ada istitab / di minta untuk tobat.

Tetapi apabila dia mengatakan dan menyaqini bahwa :” menistakan Agama, Alqur’an, Rosululloh, tidak boleh” maka tetap harus di shalati.


Kesimpulannya apabila dia benar-benar sampai murtad maka tidak boleh di shalati, tetapi apabila tidak sampai murtad maka harus di shalati.

والله اعلم بالصواب

Demikian Pro penista agama apakah tidak boleh di sholatkan saat meninggal? Selamat Belajar ! & Happy Blogging!. (www.santriamatir.com)



Sholat adalah perkara yang wajib di lakukan oleh semua orng islam, dalilnyapun sangat jelas di dalam Alquran, sholat juga merupakan tiang agama, sebagaimana yang telah di sabdakan nabi Muhammad SAW dalam hadistnya :

الصلاة عماد الدين فمن اقامها فقد اقام الدين ومن تركها فقد هدم الدين

Sholat Itu tiang agama barang siapa yang menegakkannya maka dia menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya maka di merobohkan agama.

Para Ulamak berbeda-beda dalam mendefinisi sholat itu sendiri, tapi intinya sama.

Berikut penulis akan mengemukakan pengetahuan dasar tentang sholat, yang di nukil dari kitab fiqih ulamak-ulamak yang dari madzhab Syafiiyah, yaitu madzhab yang di ikuti mayoritas muslimin Indonesia.

Sholat adalah : Beberapa bacaan dan Beberapa Gerakan yang di mulai dengan Takbirotul ikhrom dan di akhiri dengan salam. Yang di dalamnya terdapat beberapa syarat dan rukun yang harus di lakukan, yang di sebut dengan syarat dan Rukun Sholat. Dan terdapat beberapa Batal yang di sebut dengan batal Sholat.

Syarat Sholat adalah sesuatu yang harus di lakukan sebelum melaksanakan sholat, apabila syarat sholat ini tidak di lakukan maka Sholatnya tidak Sah.

Sedangkan Syarat Sholat Sebagai Berikut:

1. Islam

2. Tamyiz

3. Masuk Waktu Sholat

4. Tahu tentang fardhu-fardhu sholat

5. Tidak meyaqinkan kalau Fardhu-fardhu sholat merupakan Sunnah

6. Suci dari Dua Hadast

7. Pakaian, badan, dan tempat harus suci dari Najis

8. Menutup aurat


Rukun Sholat adalah sesuatu yang harus di lakukan di saat Sholat, apabila rukun ini tidak di lakukan maka sholatnya tidak sah.

Sedangkan Rukun Sholat Sebagai berikut:

1. Niat

2. Membaca takbiratul ikhram

3. Berdiri bagi orang yang mampu, dalam sholat fardhu

4. Membaca fatihah

5. Ruku’

6. Berdiri tegak setelah ruku’

7. Sujud dua kali

8. Duduk di antara dua sujud

9. Membaca tahiyyat didalam duduk yang akhir

10. Duduk dalam tahiyyat tersebut

11. Membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW

12. Salam

13. Thuma’ninah (berdiam sejenak) di setiap rukun yang sifatnya gerak

14. Tersusun tertib.


Batal sholat adalah sesuatu yang membatalkan sholat apabila di lakukan.

Sedangkan batal sholat sebagai berikut:

1. sebab hadast

2. kejatuhan najis, apabila najis tersebut tidak di buang seketika

3. terbukanya aurat

4. berkata dengan dua huruf atau satu huruf yang bisa di mengerti dengan sengaja

5. memakan sesuatu walaupun sedikit dengan sengaja

6. makan yang banyak secara lupa

7. bergerak tiga kali berturut-turut meskipun lupa

8. meloncat yang keras

9. memukul yang keras

10. menambah rukun fi’ly dengan sengaja

11. mendahului imam dua rukun fi’ly dan tertinggal dua rukun fi’ly dengan tanpa udzur

12. niat memutus sholat

13. niat menggantungkan sholat dengan sesuatu

14. dan ragu-ragu dalam memutuskan sholat tersebut.


Demikian Pengertian Dasar Tentang Sholat, Selamat Belajar,! & Happy Blogging ( http://www.santriamatir.com)


Di dalam postingan yang lalu di sebutkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu/ wajib kifayah menurut kalangan Syafiiyah, ini menunjukkan betapa pentingnya berjamaah ini.

Setiap hari.. mungkin manusia punya kesibukan berbeda-beda, sehingga tidak memungkinkan untuk berjamaah setiap shalat wajib.

Postingan ini akan membahas tentang udzurnya berjamah, dalam masalah udzurnya berjamaah ini kita bisa merujuk pada perkataan ulamak yang di abadikan dalam kitab Al Hawasyil Madaniyyah juz l & ll halaman 11 & 13, serta kitab Qulyubi juz l halaman 226. Berikut perkataannya:
( ومدافعة الحدث) البول او الريح او الغائط وكذا كل خارج من الجوف وكل مشوش للخشوع . اهى

وكونه يخشى وقوع فتنة له اوبه وقوله (وقوع فتنة) في الامداد والنهاية لفرط جماله وهو امرد وقياسه ان يخشى هو افتتانا بمن هو كذلك .اهى

تنبيه: من الأعذار زلزلة ونعاس الى ان قال---- واستغال بمنذوب نحو مفاضلة ومسابقة وسمن مفرط وخشية فتنة له اوبه اهى

Melihat qaul di atas, maka selain menahan hadast seperti menghormati tamu, mengajar, dan lain-lainnya, yang bisa menghilangkan atau mengurangi kekhusyuan shalat berjamaah, maka di katagorikan udzur shalat berjamaah


mungkin masih ada pendapat lain selain di atas, apabila pembaca menemukannya, harap untuk menuliskannya di komentar.

Demikianlah Menghormati Tamu Udzur Jamaah, Selamat Belajar,! & Happy Blogging.
( http://halalpenting.blogspot.com)


Halal Penting   Kematian adalah suatu yang pasti yang akan di alami oleh semua makhluk Allah SWT.


Dalam Islam orang yang sudah meninggal dunia harus di rawat, bahkan Menurut Kalangan Syafiiyah merawat orang yang sudah meninggal semisal; memandikan,mengkafani, menyalati, dan mengubur adalah Fardhu Kifayah.

yang banyak terjadi adalah perbedaan pendapat tentang posisi imam saat menyalati jenazah.

Dimanakah sebenarnya posisi Imam saat menyalati jenazah / mayat? mari kita merujuk pada hadist Nabi Saw :


عَنْ أَبِى غَالِبٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ حِيَالَ رَأْسِهِ ثُمَّ جَاءُوا بِجَنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالُوا يَا أَبَا حَمْزَةَ صَلِّ عَلَيْهَا. فَقَامَ حِيَالَ وَسَطِ السَّرِيرِ. فَقَالَ لَهُ الْعَلاَءُ بْنُ زِيَادٍ هَكَذَا رَأَيْتَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَامَ عَلَى الْجَنَازَةِ مُقَامَكَ مِنْهَا وَمِنَ الرَّجُلِ مُقَامَكَ مِنْهُ قَالَ نَعَمْ. فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ احْفَظُوا. (سنن الترمذي - ج 3 / ص 352)


”Abu Ghalib berkata: Saya salat janazah laki-laki bersama Anas bin Malik, kemudian ia berdiri lurus dengan kepala mayit. Lalu mereka mendatangkan janazah wanita dari Quraisy, mereka berkata: Wahai Abu Hamzah (kunyah / nama sebutan Anas), salatkanlah janazah wanita ini! Kemudian Anas berdiri lurus di tengah-tengah tempat janazah. Ala’ bin Ziyad bertanya: Seperti inikah engkau melihat Rasulullah Saw berdiri di depan janazah sebagaimana kamu berdiri di depan janazah laki-laki dan perempuan? Anas menjawab: Ya. Selesai salat Anas berkata: Jagalah oleh kalian” (HR Turmudzi, ia berkata hadis ini hasan. Asy-Syaukani berkata: Perawi sanadnya terpercaya)


Untuk posisi janazah wanita dijelaskan dalam hadis-hadis sahih:

عَن سَمُرَة بْن جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِى نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا (البخارى 1332)

”Samurah bin Jundub berkata: Saya salat di belakang Rasulullah Saw terhadap janazah wanita yang meninggal saat nifasnya, kemudian Rasulullah berdiri di tengah-tengahnya” (HR al-Bukhari 1332 dan Muslim 2281)


Kendati demikian, para ulama berbeda pendapat berdasarkan dalil masing-masing:

( وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى هَذَا ) أَيْ إِلَى أَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ حِذَاءَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَحِذَاءَ عَجِيزَةِ الْمَرْأَةِ ( وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ ) وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْحَقُّ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ ... وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْإِمَامَ يَقُومُ بِحِذَاءِ صَدْرِ الْمَيِّتِ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ الْمَشْهُورُ . وَقَالَ مَالِكٌ : يَقُومُ حِذَاءَ الرَّأْسِ مِنْهُمَا ، وَنُقِلَ عَنْهُ أَنْ يَقُومَ عِنْدَ وَسَطِ الرَّجُلِ وَعِنْدَ مَنْكِبَيْ الْمَرْأَةِ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ : حِذَاءَ رَأْسِ الرَّجُلِ وَثَدْيِ الْمَرْأَةِ وَاسْتَدَلَّ بِفِعْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ... قَالَ الشَّوْكَانِيُّ بَعْدَ ذِكْرِ هَذِهِ الْأَقْوَالِ : وَقَدْ عَرَفْت أَنَّ الْأَدِلَّةَ دَلَّتْ عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَأَنَّ مَا عَدَاهُ لَا مُسْتَنَدَ لَهُ مِنْ الْمَرْفُوعِ إِلَّا مُجَرَّدُ الْخَطَأِ فِي الِاسْتِدْلَالِ أَوْ التَّعْوِيلِ عَلَى مَحْضِ الرَّأْيِ أَوْ تَرْجِيحِ مَا فَعَلَهُ الصَّحَابِيُّ عَلَى مَا فَعَلَهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (تحفة الأحوذي - ج 3 / ص 91)

”Sebagian ulama berpendapat bahwa imam berdiri lurus dengan kepala janazah laki-laki, dan berdiri lurus dengan posisi tengah janazah wanita. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan Syafii. Ini adalah pendapat yang benar, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa imam berdiri lurus dengan dada mayit, baik laki-laki maupun wanita, ini adalah pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah. Malik berkata: Imam berdiri lurus dengan kepala janazah laki-laki maupun wanita. Diriwayatkan pula dari Malik bahwa imam berdiri di tengah janazah laki-laki dan pundak janazah wanita. Sebagian ulama berkata: Lurus dengan kepala mayit laki-laki dan dada mayit wanita. Mereka berdalil dengan yang dilakukan oleh Ali Ra. Asy-Syaukani berkata setelah menyebut pendapat-pendapat di atas: ”Anda mengetahui bahwa dalil-dalil menunjukkan pada pendapat Syafii. Dan pendapat lainnya tidak memiliki sandaran hadis kecuali kesalahan dalam mencari dalil atau berpegangan pada suatu pendapat atau menguatkan apa yang dilakukan sahabat daripada apa yang dilakukan oleh Nabi Saw” (Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi 3/91)

Kesimpulannya adalah dalam perbedaan ulamak di atas sama-sama memiliki hujjah, silahkan anda mau Taqlid kepada siapa


Demikianlah Posisi Imam Saat Shalat Jenazah, Selamat Belajar! &Happy Blogging ( http;//halalpenting.blogspot.com)


Jika seseorang shalat bermakmum itu artinya dia sedang shalat berjamaah, sedangkan Shalat berjamaah menurut Syafiiyah hukumnya fardhu kifayah.

Tempat untuk berjamaah biasanya di masjid, mushalla, atau surau, apabila tempat sudah tidak bisa menampung jamaah, karna pesatnya penduduk, maka segera di renovasi, baik menambah perluasan masjid, mushalla,atau surau itu sendiri, atau menambah dua lantai.

Makmum seharusnya berada di belakang imam kemudian di belakangnya, di belakangnya.

untuk masjid yang berlantai 2 atau lebih dan di bawah sudah tidak menampung lagi, maka makmumnya berada di lantai 2.

Bagaimana hukumnya seseorang yang bermakmum di lantai 2 sedangkan imamnya berada di bawah?

Berikut kami jelaskan melalui kitab Hasyiyah Assyarwani juz ll Hal. 313-314 dan kitab Al Jamal Juz l Hal. 548

(واذا جمعها مسجد) ومنه جداره ورحبته وهي ما حجر عليه لاجله وان كان بينهما طريق مالم يتيقن حدوثه بعده وانها غير
مسجد ومنارته التي بابها فيه او في رحبته لاحريمه وهو ما يهيأ لالقاء قمامته (صح الاقتداء) اجماعا ( وان بعدت الممسافة وحالة الابنية ) التي فيه المتنافذة الابواب اليه والى سطحه كما افهمه كلام الشيخين.......الى اخر القول


(قوله نافذة) الوجه ان المراد بالفوذ هو الذي يسهل معه الاستطراق عادة فلو حال جدار في اثنائه كوة كبيرة يمكن الصعود اليها والنزول منها الى الجانب الأخر...........الى اخر القول

Kalau melihat Uraian di atas maka hukumnya tidak sah, kecuali ujung tangga yang bawah berada di masjid, atau ada lubang yang tembus dengan lantai bawah


ini bukan merupakan keputusan yang muthlaq, mungkin masih ada pendapat yang lain, apabila anda menemukan hal itu, sudikah kiranya untuk berkomentar


Demikian lah Hukum Bermakmum Di Lantai dua ,selamat belajar &happy blogging (http://www.halalpenting.blogspot.com)   

Menghayal Waktu Sholat
gambaran shalat

Kekhusyukan dalam shalat merupakan salah satu syarat untuk di terima oleh Allah Swt, Namun sangat sulit untuk mencapai kekhusyukan itu sendiri, termasuk penulis. berikut Hp akan menguraikan pendapat ulamak tentang Shalat sambil berkhayal yang menyebabkan shalat tidak khusyuk

Shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram dianggap sebagai pintu masuk untuk mengingat Allah SWT. Segala bentuk kegiatan yang diperbolehkan di luar shalat, seketika takbir semuanya mesti ditinggalkan, alias diharamkan.


Setelah berniat dan melakukan takbir, seharusnya pikiran dan hati kita fokus untuk beribadah dan tertuju pada Allah SWT. Namun masalahnya, mengendalikan pikiran bukanlah perkara mudah.


Seringkali pikiran lain muncul tiba-tiba di benak kita seperti soal pekerjaan, anak, harta, dan dagangan. Bahkan dalam shalat pun, terkadang khayalan aneh datang menghantui pikiran. Sehingga, semua itu membuat kekhusyukan ibadah menjadi terganggu dan berkurang. Lalu bagaimana hukumnya? Apakah masih sah shalat orang yang mengkhayal ketika shalat?


Terkait masalah ini, Imam An-Nawawi punya jawaban di dalam kitabnya Fatawa Al-Imam An-Nawawi:


إذا فكر في صلاته في المعاصي والمظالم ولم يحضر قلبه فيها ولا تدبر قراءتها هل تبطل صلاته أم لا؟ أجاب رضي الله عنه: تصح صلاته وتكره..


Artinya, “Bila seorang mengkhayal maksiat dan kezalimaan pada saat shalat sehingga hatinya tidak fokus dan dia tidak meresapi bacaannya, apakah shalatnya masih sah? ‘Shalatnya sah, namun makruh,’” jawab Imam An-Nawawi.”


Orang yang mengkayal, pikirannya melayang ke mana-mana, bahkan memikirkan sesuatu yang buruk, shalatnya masih dihukumi sah. Meskipun sah, shalatnya dianggap makruh karena hatinya tidak hadir dan dia tidak meresapi bacaan yang dilafalkannya.


Kekhusyukan memang tidak menjadi kewajiban di dalam shalat, namun bukan berarti kita mengabaikannya. Kita mesti mengupayakan dan mengusahkannya. Minimal kita berusaha merenungi dan meresapi setiap bacaan yang dilafalkan ketika shalat. Di sini kita mengerti betapa kekhusyukan adalah barang mahal tiada tara. Wallahu a’lam

Sumber : Nu Online

Demikian Menghayal Waktu Sholat, Usai Merampok dan Membunuh.  Selamat Belajar & Happy Blogging! (www.halalpenting.blogspot.com)

Mengepalkan Tangan ketika Bangun dari Sujud
ilustrasi

Mungkin hal ini tidak asing lagi bagi kita bahwa pada waktu sholat kita sering melihat perbedaaan dalam  kaifiyahnya, salah satunya adalah di saat bangun dari sujud.
Di saat bangun dari sujud ada sebagian orang yang mengepalkan tangannya, dan ada yang membeberkan tangannya,nah kira-kira mana yang benar?berikut hp akan memberikan sedikit penjelasannya.
pertama hp akan mengambil dari Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, juz I, halaman 182). di sana di jelaskan kurang lebihnya seperti ini
 يُسَنُّ ( أَنْ يَعْتَمِدَ فِي قِيَامِهِ مِنْ السُّجُودِ وَالْقُعُودِ عَلَى يَدَيْهِ ) ؛ لِأَنَّهُ أَشْبَهُ بِالتَّوَاضُعِ ، وَأَعْوَنُ لِلْمُصَلِّي ، وَلِثُبُوتِهِ فِي الصَّحِيحِ عَنْ فِعْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Artinya, “Sunah untuk bertopang kepada kedua tangannya ketika bangun dari sujud dan duduk karena hal tersebut lebih tampak sebagai simbol ketawadlu’an, lebih bisa membantu orang yang shalat, dan karena telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana ditetapkan dalam hadits sahih.

Jika bertumpu di atas kedua tangan adalah praktik yang dilakukan Rasulullah SAW, pertanyaannya bagaimana caranya? Menurut Muhammad Khathib asy-Syarbini, baik orang kuat maupun yang lemah caranya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari-jari di atas tanah.

وَكَيْفِيَّةُ الِاعْتِمَادِ أَنْ يَجْعَلَ بَطْنَ رَاحَتَيْهِ ، وَبُطُونَ أَصَابِعِهِ عَلَى الْأَرْضِ وَسَوَاءٌ فِيهِ الْقَوِيُّ وَالضَّعِيفُ

Artinya, “Sedang cara bertumpunya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari-jarinya di atas tanah baik orang yang kuat maupun yang lemah,” (Lihat M Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, juz I, halaman 182).

Sedangkan kalangan yang berpendapat bahwa orang yang shalat ketika bangkit dari sujud dengan cara mengepalkan tangannya didasarkan salah satu hadits berikut ini:

إذَا قَامَ مِنْ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ

Artinya, “Ketika Rasulullah SAW bangkit dalam shalatnya Beliau meletakkan tangannya di atas tanah sebagaimana tukang adonan roti meletakan tangannya (al-‘ajin).”

Tetapi persoalannya menurut para ulama, hadits ini bukan masuk kategori hadits sahih sehingga tidak bisa dijadikan dasar. Meskipun hadits ini jika dianggap sahih, makna kata al-‘ajin bukan dalam pengertian tukang roti yang membuat adonan roti, tetapi maknanya adalah orang yang tua renta (asy-syaikh al-kabir).

Sehingga makna hadits tersebut adalah Rasulullah SAW ketika berdiri dalam shalat dengan bertumpu dengan kedua telapak tanggannya sebagaimana bertumpunya orang yang tua renta. Bukan diartikan mengepalkan kedua tangannya sebagaimana tukang pembuat adonan roti.

Sebab, praktik yang dilakukan Rasulullah SAW itu sendiri ketika bangkit dari sujud tidak mengepalkan tanggannya, tetapi dengan menjadikan kedua telapak tanggan dan telapak jari-jarinya di atas tanah, sebagaimana yang dijelaskan di atas mengetahui tata-caranya.

وَأَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي فِي الْوَسِيطِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا قَامَ مِنْ الصَّلَاةِ وَضَعَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ وَإِنْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى ذَلِكَ وَيَكُونُ الْمُرَادُ بِالْعَاجِنِ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ لَا عَاجِنَ الْعَجِينِ

Artinya, “Adapun hadits yang terdapat dalam kitab al-Wasith dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw ketika berdiri dalam shalat meletakkan tangannya di atas tanah sebagaimana tukang pembuat adonan roti, bukan termasuk hadits sahih. Dan jika hadits ini sahih maka mesti ditafsirkan dengan penafsiran di atas (menjadikan kedua telapak tangan dan telapak jari di atas tanah), dan yang dimaksud dengan al-‘ajin adalah orang yang tua renta bukan tukang pembuat adonan roti (‘ajin al-‘ajn),” (Lihat M Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, juz I, halaman 182).

Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami jangan sampai perbedaan dalam masalah ini menimbulkan konflik dan saling menyalahkan satu sama lain. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Bermakmum pada Imam yang Rusak Bacaannya

Bagaimana hukumnya bermakmum kepada imam yang rusak bacaannya?
Apakah perlu mufaraqah? Lalu cara mufaroqoh dalam shalat bagaimana juga. trimakasih. Nasywa

 Sdr.Nasywa yang kami hormati. Shalat berjama'ah merupakan anjuran yang sangat ditekankan oleh Rasulullah. Dalam madzhab syafi'i dinyatakan sebagai sunnah muakkadah. Dalam sholat jama'ah meniscayakan adanya imam dan makmum serta ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan oleh imam dan makmum. Diantara ketentuan tersebut adalah tidak sah shalatnya makmum yang baik bacaan fatihahnya(qari') mengikuti (bermakmum) dengan orang yang bacaan fatihahnya cacat. Dengan demikian, ketika si makmum mengetahui bahwa bacaan fatihah imam cacat, maka ia harus mufaraqah (niat keluar dari jama'ah dan tidak mengikuti shalat imam lagi). Hal ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Syafi'i seperti Fathul Qarib, Fathul Mu'in, Asnal Mathalibdan lain-lain. Dalam Asnal-Mathalib disebutkan: وَلَا) قُدْوَةَ (بِمَنْ يَعْجِزُ) بِكَسْرِ الْجِيمِ أَفْصَحُ مِنْ فَتْحِهَا (عَنْ الْفَاتِحَةِ، أَوْ عَنْ إخْرَاجِ حَرْفٍ) مِنْهَا (مِنْ مَخْرَجِهِ، أَوْ عَنْ تَشْدِيدٍ) مِنْهَا (لِرَخَاوَةِ لِسَانِهِ) وَلَوْ فِي السِّرِّيَّةِ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ بِصَدَدِ تَحَمُّلِ الْقِرَاءَةِ، وَهَذَا لَا يَصْلُحُ لِلتَّحَمُّلِ Artinya: Dan tidak (sah) bermakmum dengan orang yang tidak dapat membaca surat Al-Fatihah sesuai dengan mahraj atau tasydidnya karena mengendornya lidahnya, meskipun dalam shalat yang imam tidak dianjurkan mengeraskan suara karena sesungguhnya imam menjadi penanggung jawab fatihah makmum, sementara orang ini (yang tidak mampu membaca fatihah dengan baik) tidak layak untuk itu. Cara mufaraqah yang baik dan tidak membuat gejolak dalam shalat jama'ah menurut hemat kami adalah dengan tetap menjaga dan mengatur ritme shalat seperti ritme imamnya, agar nantinya gerak gerik dan bacaan tetap bersamaan dengan imam sampai selesai shalat, namun yang perlu diperhatikan disini adalah jangan sampai ada jeda waktu kosong makmum yang mufaraqah dari aktivitas-aktivitas yang ditentukan dalam shalat biar tidak ada kesan menunggu imam (intidhar). Jawaban ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita, sehingga dapat melaksanakan shalat jama'ah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.Amin.
sumber ;NU Online

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget